Pada Sabtu, 19 Oktober 2024, pukul 18.00, antusiasme penonton memadati lapangan sebelah utara Gedung Soetardjo, Universitas Jember. Acara tersebut merupakan bagian dari Pra Festival UNEFF 2024: Layar Tancap Universitas Jember, yang bertujuan mempromosikan UNEFF 2024 kepada mahasiswa di Jember.
Melalui penayangan film, sesi tanya jawab berhadiah, serta diskusi, penonton diajak memahami peran uang dan keberanian dalam budaya politik di desa. Dua film yang menjadi sorotan malam itu adalah Ji Dullah dan Democrazy.
Acara ini bukan hanya sebagai ajang apresiasi bagi para pembuat film, namun juga memberikan pengalaman menyenangkan bagi lebih dari 150 penonton yang hadir. Di antara hadirin, terdapat Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Didik Suharijadi, S.S., M.A, serta tiga mahasiswa PSTF Angkatan 2024 dan UKM Seni PH-9.
Menurut UKM Seni PH-9, kedua film tersebut sangat relevan dengan kehidupan di daerah, terutama dalam hal penggunaan uang dalam kampanye politik. Film-film tersebut berhasil mengemas isu-isu negatif yang sudah dianggap lumrah di masyarakat dengan cara yang menarik. Mereka menilai, pemilihan film yang tepat menjadikan acara ini tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan pelajaran berharga tentang kehidupan sosial dan politik di pedesaan.
Sementara itu, tiga mahasiswa PSTF Angkatan 2024 juga memberikan tanggapan positif. Mereka merasa bahwa kedua film tersebut sangat menggambarkan realitas kehidupan desa, di mana beberapa kejadian di film sering kali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga mengapresiasi keberanian para pembuat film dalam menyampaikan tema politik dengan sentuhan komedi. “Ini adalah pengalaman pertama kami menonton layar tancap di Jember,” ungkap salah satu mahasiswa, seperti dikutip unej.ac.id.
Tidak hanya mahasiswa, Didik Suharijadi, S.S., M.A, selaku Dosen Fakultas Ilmu Budaya, juga memberikan tanggapannya. Menurut beliau, Ji Dullah dan Democrazy mampu menggambarkan kehidupan politik di Jember dan relevan secara nasional. Ji Dullah, meskipun menggunakan Bahasa Madura dan karakter religius, tetap menyampaikan kritik sosial yang bersifat universal tanpa membatasi pada satu wilayah saja.
Sebaliknya, Democrazy menyoroti kehidupan politik di Jember dengan lebih spesifik, namun tetap relevan di seluruh Indonesia. Beliau sangat mengapresiasi kedua film ini karena mampu menggambarkan realita politik desa, termasuk isu uang, pencitraan, dan janji-janji palsu yang sering terjadi di masyarakat Indonesia.
Beliau berharap bahwa UNEFF 2024 bisa menginspirasi para pembuat film di Jember dan sekitarnya. Dengan keberanian dan kreativitas yang ditunjukkan oleh para filmmaker, diharapkan akan lahir lebih banyak karya yang mengangkat tema-tema sosial yang relevan di masa depan.